6 Nov 2011

Makna Pengorbanan Sejati: Mendalami Sejarah Aidil Adha

Aidil adha mengenangkan saya sebuah cerita pengorbanan agung yang pernah terjadi dalam sejarah manusia. Tercatat dalam sejarah, bahwa ketika Khalilullah Ibrahim ‘alaihissalam, diperintahkan untuk meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil, di sebuah lembah tandus yang kini menjadi kota Makkah. Kesabaran dan ketulusan cinta yang tiada tara terhadap suami dan Rabbnya, menjadikan Siti Hajar (Hegar) merelakan kepergian suaminya, dalam rangka berbakti untuk Allah. Ditengah terik panas menyengat, dengan menggendong seorang anak kecil yang dicintainya, bahkan hingga kehausan yang hebat menerpanya. Keringnya air susu pun, membuat sang bayi menangis, memaksa Hegar berkeliling mencari air. Di sebuah lembah tandus, tanpa penghuni, tanpa tumbuhan, tanpa sumber air. Yang ada gunung batu kering, yang hanya menambah panasnya terik siang itu. Tangisan sang bayi, dan tekanan lingkungan yang begitu beratnya, tidak membuat Hegar mengeluh. Tidak pula membuat dia menyesali kepergian suaminya. Dengan kehebatan cinta terhadap suaminya sebagai Nabi Allah, dan kecintaan terhadap Tuhannya, Hegar merelakan semuanya, bahkan merelakan dirinya menderita dengan panas, terik, dan haus, hingga datanglah pertolongan Allah, membalas kesabarannya, membalas kekuatan cintanya.

Hegar, tidak sedikitpun menangisi kepergian suaminya. Dan juga Ibrahim, tidak sedikit pun menoleh, walaupun meninggalkan istri dan buah hatinya dalam kesulitan.

Dalam keluarga yang hebat itulah, Nabi Ismail lahir, tumbuh, dan berkembang. Nyatanya, didikan kekuatan cinta terhadap orang lain, dan kecintaan terhadap Rabb pencipta, menjadikan Ismail seorang yang rela berkorban demi orang lain. Kita pasti mengenali kisahnya yang begitu menggugah hati, karena kekuatan hatin Ismail yang merelakan dirinya disembelih oleh sang ayah. Sang ayah yang begitu bijaknya, mengajak Ismail yang baru beranjak dewasa untuk berdiskusi, mengenai perintah yang diterimanya. Sebuah reaksi menakjubkan pun diberikan oleh Ismail: dia merelakan dirinya, agar ayahnya tidak dimurkai oleh Allah.

Ismail, karena kecintaannya terhadap sang ayah, merelakan dirinya agar ayahnya tidak dimurkai, sembari mengatakan “wahai ayah, sesungguhnya aku bersama dengan orang-orang yang sabar”.

Dan kini, kita dihadapi oleh fenomena akhir zaman. Dimana sebua hubungan relasi bersifat tendensius, demi kepentingan pribadi. Tidaklah kita temukan lagi, sosok-sosok sabar, tangguh, dan penuh cinta seperti Ibrahim sekeluarga, yang merelakan dirinya, demi kebaikan orang lain. Di akhir zaman ini, bahkan pertemanan dan hubungan yang baik pun, tidak bisa melenyapkan kepentingan pribadi disebailknya. Bisakah kita temukan lagi seorang istri yang tidak murka kepada suami yang meninggalkannya dengan anak yang masih kecil, tanpa bekal apapun, tanpa keluhan apapun, agar suami yang dicintainya bisa menjalankan perintah Allah dengan sebaik mungkin?  Dan mungkinkah kita menemukan lagi remaja tangguh yang merelakan nyawanya, demi kemashlahatan sang ayah dalam menerima perintah?

Disinilah kita berada. Di sebuah masa, dimana harga sebuah cinta pengorbanan begitu mahal. Bukan saja pengorbanan kepada orang kita cintai, tapi terlebih lagi kepada Tuhan yang mencipta kita. maka seharusnya, moment Idul Adha ini, mengingatkan kita, tentang sebuah kisah pengorbanan yang dilandaskan kecintaan yang tulus, demi kebaikan orang lain. Detik inilah saatnya, untuk meningkatkan pengorbanan, menyuburkan keikhlasan.

Related Posts