6 Nov 2011

Puasa Terapi Kejiwaan

“Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa' (pemutus syahwat/perisai) baginya"  (Muttafaqun ‘alaihi)

hadist shahih diatas, secara implisit dapat menjelaskan kepada kita, bahwa puasa yang kita lakukan, pada dasarnya menjadi perisai bagi kepribadian kita. Tapi, puasa tersebut tidak secara langsung dan dengan sendirinya menjadi perisai. Puasa, adalah sebuah proses pendidikan yang komprehensif mendidik jiwa dan raga, hingga output yang dihasilkan adalah manusia yang memiliki ‘perisai’. Buktinya, banyak kita jumpai orang-orang yang berpuasa, hanya sebatas menahan makan dan minum, tanpa memaknai dan melalui ‘proses’ pembentukan perisai tersebut. Sehingga mereka berpuasa, tapi tetap bergelimang dengan madzmumah dan akhlaq tercela mereka, baik pada saat mereka masih berpuasa, atau setelah mereka melampaui bulan suci. Inilah bukti bahwa puasa bukanlah perisai dengan sendirinya, melainkan sebuah proses pembentukan perisai. Proses tersebutlah, yang berfungsi sebagai terapi bagi diri kita.


Proses fisiologis: Puasa Terapi Stress
Sistem kelenjar manusia, memproduksi bermacam hormon, termasuk hormon yang bekerja mempengaruhi emosi. Hormon-hormon yang dihasilkan tersebut, disebarkan melalui pembuluh darah, melalui sistem kardiovaskuler (sistem peredaran darah). Melalui puasa, pembuluh darah menjadi mengecil, sehingga peredaran hormonal bisa lebih stabil.

Stress, secara fisiologis disebabkan oleh peningkatan hormon Epinephrine norepinephrine, yang menyebabkan adanya lonjakan energi, ketegangan otot, dan peningkatan tekanan darah. Secara emosi, peningkatan hormon tersebut dapat menyebabkan kemarahan. Dengan puasa, peredaran hormonal tersebut menjadi lebih stabil, dan berakibat stress menjadi lebih terkontrol.

Kepala Kepolisian di Yaman pernah mengungkapkan (melalui dosen penulis, native speaker dari Yaman) bahwa peningkatan kriminalitas umumnya terjadi pada setiap pertengahan bulan hijriyah. Salah satu rahasia alam yang terjadi adalah karena pada pertengahan bulan hijriyah bertepatan dengan kemunculan bulan purnama. Tubuh manusia yang 70 persennya terdiri dari air, juga terpengaruh oleh kehadiran bulan purnama tersebut. Sistem hormonal menjadi lebih meningkat bergejolak, sehingga manusia menjadi lebih mudah stress. Disinilah, kita mengetahui hikmah dari puasa sunnah bidh, yang dilaksanakan selama tiga hari di setiap pertengahan bulan hijriyah. Dengan puasa, hormon terdistribusi lebih baik, sehingga stress, dan kondisi tekanan lainnya, bisa dilalui dengan baik.

Proses Mental: Ramadhan Terapi Perbaikan Diri
Ramadhan secara kompleks tapi terarah, menggiring seorang mukmin untuk menjadi pribadi baru setelah melewatinya selama tiga puluh hari. Seseorang yang memaknai Ramadhan dengan sepenuh hati, akan melewati proses-proses perbaikan diri menuju pribadi baru, dengan tahapan berikut:

1. Terapi perbaikan diri: puasa Ramadhan meningkatkan kesadaran diri (self-awareness)
Manusia memiliki banyak cara dalam menekan dorongan-dorongan bawah sadar (nafsu). Diantaranya, ada yang menekan dengan paksa (supresi dan represi), hingga mengalihkan emosi/nafsu dalam bentuk lain (contoh, seorang yang sedang membuat syair pelarian dari kondisi stress, disebut dengan sublimasi). Melalui Ramadhan, orang yang berpuasa harus selalu menekan hawa nafsunya, yang mungkin pada hari biasa di luar bulan puasa, orang tersebut tidak begitu memperhatikan dorongan-dorongan nafsunya. Sehingga dengan momentum Ramadhan, manusia bisa menyadari akan dorongan nafsu yang ia miliki. Ia menyadari musuh diri yang mungkin selama ini bebas berkeliaran, karena kehadirannya yang tidak disadari. Mengenali musuh diri atau hawa nafsu, adalah awal dan dasar dari kesadaran diri. Dan kesadaran diri merupakan gerbang menuju perbaikan kepribadian pada diri manusia (self-improvement). Manusia tidak akan mampu memperbaiki dirinya, tanpa adanya sebuah kesadaran tentang kondisi dirinya sendiri, terutama tentang kelemahan yang ia miliki.

2. Terapi perbaikan diri: Ramadhan bulan positif thinking
Setelah menyadari kehadiran nafsu-nafsu yang selama ini tidak terperhatikan, maka melalui Ramadhan seorang mukmin ‘dipaksa’ untuk berpositif thinking. Dalam bulan Ramadhan, kita diharuskan untuk yakin bahwa kita bisa menjauhi maksiat, kita bisa menahan lapar dan dahaga, serta motivasi-motivasi lainnya seperti membaca al-Quran, bersedekah, dan perbuatan terpuji lainnya. Positif thinking, harus dilakukan oleh semua orang yang menginginkan perbaikan diri. Walaupun telah menyadari kelemahan diri (self-awareness), tapi tanpa sebuah pikiran positif yang yakin akan perubahan, proses langkah perbaikan diri tidak akan dapat terealisasi dengan sempurna.

Dengan positif thinking, individu akan memiliki keyakinan dalam perbaikan diri. Keyakinan tersebut, akan terealisasi dalam bentuk sikap dan perbuatan. Sikap dan perbuatan yang terus berulang, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang kemudian terus ditanamkan, akan menjadi karakter. Karakter baru inilah, yang nantinya menjadi tujuan bagi seseorang yang menanamkan perbaikan diri dalam pikiran positifnya.

3. Terapi perbaikan diri: Ramadhan adalah skenario hidup anda
Ramadhan yang kita lalui, adalah sebuah skenario kehidupan, yang dijadwalkan secara tahunan. Rasulullah bersabda, yang artinya "Shalat lima waktu (skenario harian-pen.), dari Jum'at yang satu ke Jum'at yang berikutnya (pekanan), dari Ramadhan yang satu ke Ramadhan (tahunan) yang berikutnya itu dapat menjadi penghapus dosa-dosa antara jarak keduanya itu, jikalau dosa-dosa besar dijauhi.“ (HR. Muslim).

Dapat kita bayangkan, didikan Ramadhan yang kita anggap sebagai proses terapi, harus berulang-ulang tiap tahunnya, sepanjang kehidupan kita. Dan dalam waktu satu tahun tersebut, 30 hari berturut-turut kita harus melaksanakan terapi perbaikan diri. Dengan terapi yang kontinyu dan intensif, maka perbaikan diri bukan lagi menjadi sebuah isapan jempol. Perbaikan diri yang terus terulang tiap tahunnya, harusnya akan berujung pada pribadi unggul yang dijanjikan, yaitu pribadi berpredikat taqwa.
“hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. Agar kamu menjadi orang yang bertaqwa”

Begitulah Ramadhan. Dengan segala keindahannya, menjadi terapi secara fisik dan mental terhadap perbaikan kita. Tinggal terpulang pada pribadi kita, apakah mau memaknai Ramadhan ini, atau melewatkan terapi kejiwaan yang begitu canggih ini. Maknailah Ramadhan sepenuh hati...

Related Posts