25 Mar 2024

The Paradox of Choice (#1)

Kita pasti berpikir, memiliki limitless option and choice itu menyenangkan, karena bisa memenuhi personal choice masing-masing. The more choice, the better. Gitu katanya.

Photo by Jon Tyson on Unsplash


Kita tahu manusia memiliki keinginan dan desire terhadap  pilihan yang tidak terbatas dan kita mungkin percaya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk me-manage opsi-opsi tersebut.

Well, Dr. Barry Schwarts dalam buku The Paradox of Choices menjelaskan bahwa pada titik tertentu, jumlah pililhan akan meningkatkan kebahagiaan. Tapi jika pilihan terlalu banyak, justru membuat happiness seseorang akan berkurang.

-

Tahun 2000, ada studi yang berjudul menarik: "When Choice is Demotivating: Can One Desire too Much of a Good Thing?

Dalam experiment tersebut, sebagian orang diberikan pilihan 24-36 jenis rasa selai yang berbeda-beda. Di saat yang lain, mereka diberikan pilihan 6 jenis rasa saja. 

Hasilnya? Opsi yang lebih sedikit memiliki tingkat penjualan 10 kali lebih banyak. Limited option changes consumer purchasing behavior.

Ketika terlalu banyak pilihan, maka otak kita jadi terlalu banyak pertimbangan, akhirnya malah ga bisa ambil keputusan (analysis paralysis). 

Dalam konteks purchasing behaviour ini, otak kita akhirnya mensimplifikasi dengan "duh bingung pilih yang mana, yaudah dari pada nanti nyesel salah pilih, ga jadi beli aja deh".

-

Sekarang saya jadi paham, kenapa dalam meeting yang bersifat strategic, pembahasan sudah mengerucut pada sedikit opsi pilihan apa yang akan diambil. Dan bahkan sudah tidak lagi membahas "how-to" nya.

dan dalam level personal, membatasi pilihan membuat psikologis kita lebih rileks dan terhindar dari anxiety.

So, let's start to made less option.



Previous Post
Next Post