saya menuliskan ini, karena sering terinspirasi dari kisah nyata seorang Shihabbuddin Abul Fadhl. ia adalah seseorang yang telah pun menjadi yatim piatu ketika umur 4 tahun. dan pada saat berumur 5 tahun, ia memutuskan untuk menuntut ilmu di sebuah madrasah. walaupun terkenal rajin, tapi ia merasa sering tertinggal pelajaran dibanding teman-teman lainnya. bahkan ia sering lupa terhadap apa yang telah diajarkan oleh gurunya.
Status yatim-piatunya ternyata telah
mencetaknya menjadi sangat independen dan mandiri, dan mampu
membuat decision making dan juga memiliki self-awareness walaupun di umur yang sangat dini. maka tidak heran, pada suatu hari ia menghadap sang guru, dan menyampaikan keputusannya untuk berhenti sekolah dan memupuskan asanya untuk mejadi seorang alim, karena frustasi terhadap ketertinggalannya dalam pelajaran sekolah. berdasarkan beberapa literatur yang saya baca, saat itu umurnya baru 5-7 tahun saja.
pada saat ia mulai melangkahkan kaki meninggalkan sekolahnya, di tengah jalan hujan deras pun mengguyur, memaksanya untuk berteduh dibawah naungan sebuah gua batu. di tengah rasa putus asa akan kegagalan meraih cita-cita, di kedalaman renungannya, dia melihat sebuah batu yang memiliki ceruk disebabkan oleh tetesan-tetesan air yang menghempasnya secara terus menerus. dia pun bergumam,
Tetesan air yang terus-menerus mampu melubangi batu yang keras sekalipun
"Batu yang keras saja bisa terlubangi oleh tetesan air apalagi kepala saya yang tidak menyerupai kerasnya batu. Jadi kepala saya pasti bisa menyerap segala pelajaran jika dibarengi dengan ketekunan, rajin dan sabar". dia pun kembali melangkah menghadap gurunya. kali ini, dia datang tidak lagi dengan rasa putus asa. tapi justru dengan rasa optimis yang amat tinggi, dan dengan keyakinan: bahwa ketekunan dan kesabaran merupakan senjata bagi dirinya untuk menjadi murid yang pandai.
akhirnya, siapa sangka bahwa dimulai sejak berumur masih 23 tahun, ia mampu menulis dan mengarang sejumlah 270 judul buku selama hidupnya? dan jangan bayangkan bahwa dia menulis dengan laptop/komputer atau kemudahan teknologi yang kita nikmati sekarang ini. sebab, ia menulis pada tahun 1395M, saat itu menulis buku betul-betul berarti secara harfiah "menulis dengan tangan dan pena". pencetakan buku dilakukan oleh orang-orang yang diupah untuk menyalin buku-buku tersebut, yang juga dilakukan dengan tangan.
dia
pun kemudian lebih dikenal dengan nama Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan menjadi
seorang alim ulama yang sangat masyhur dan terkenal dalam khazanah
keilmuan Islam, terutama dalam madzhab Syafi'iyyah.
mengingat orang-orang dulu yang tanpa google saja, sudah terasa berat apalagi tanpa google dan tanpa mesin ketik. |
kita mungkin sering mendengar sebuah kisah inspiratif tentang seseorang yang dianggap bodoh, tapi dia sendiri merasa mampu dan yakin bahwa dia pintar (kisah Einstein, Edison, Jordan, dsb).
Bagi saya, kisah ini jauh lebih unik. karena justru dirinya sendiri yang menganggap dia "bodoh" atau tidak mampu, dan kemudian dirinya sendirilah yang membalikkan pemikirannya dan menganggap bahwa ia bisa.
saya jadi teringat sebuah petuah dari seorang guru ketika saya SD dulu, "tidak ada orang bodoh. yang ada adalah orang yang tidak mau belajar". perlahan tapi pasti, dalam perjalanan saya mengarungi kehidupan hingga dewasa ini, saya mengamini ucapan tersebut. selama individu tidak memiliki gangguan perkembangan kognitifnya, dia pasti bisa untuk menjadi pintar.
tidak semua diri kita dianugerahi kemampuan kognitif yang bombastis. tapi, saya yakin Tuhan itu adil. walaupun bahkan kemampuan kognitif kita standar-standar saja, dengan ketekunan dan kesabaran layaknya seorang al-Asqalani, kita bisa menjadi orang yang walaupun "bodoh", tapi kita pintar.
Catatan:
1. sepanjang hidup saya, kisah tentang ini hanya saya dapatkan dari literatur yang berasal dari Indonesia saja. pernah sekali saya mendapatkan literatur berbahasa inggris, yang diterbitkan di Singapura. beberapa kali saya melihat biografi beliau (rahimahullah) dalam literatur berbahasa arab atau inggris, saya tidak menemukan versi cerita yang seperti ini. mohon kepada teman-teman yang tahu literatur lainnya, bisa menginformasikan saya, agar keabsahan kisah ini memang reliable.
2. menurut beberapa literatur, nama Ibnu Hajar (Hajar berarti "batu" dalam bahasa arab) berasal dari kisah kejadian ini. tapi, sesuai point (1) diatas, saya hanya menemukannya literatur Indonesia saja. kitab-kitab berbahasa arab yang memuat biografi beliau menjelaskan bahwa "Hajar" merupakan nama dari kakek beliau.