Alkisah, ada
dua orang yang hidup di tahun 1890-an. Mereka berdua sedang berkompetisi untuk
memperjuangkan hak paten penemuan sebuah ‘benda’. Sebut saja A, adalah seorang
yang lebih berpengalaman dalam pengurusan hak paten, karena memang sudah lebih
dulu sering ‘menciptakan’ berbagai macam benda. Sedangkan B, hanya merupakan
instruktur dan pengajar American Sign Language (Bahasa Isyarat),
yang menciptakan ‘benda’ tersebut secara
tidak sengaja. Banyak orang yang menjagokan A, karena dianggap sudah lebih dulu
terkenal, dan lebih dulu sering menciptakan berbagai macam benda, “dia pasti
akan memenangkan sengketa hak paten ini...”, begitu kata masyarakat Amerika
saat itu.
Sedangkan B,
dianggap sebagai underdog. Tidak diperhitungkan. Terlebih karena dia
tidak memiliki latar belakang apapun di bidang yang sedang diperjuangkannya.
Dia hanya bermodalkan keyakinan, bahwa dia yang pertama kali menemukan sistem cara
kinerja ‘benda’ tersebut (walaupun bermula dari coinsidence, kebetulan)
Ketika perkara
telah diputuskan, ternyata paten hak cipta ‘benda’ yang kemudian dinamakan
‘telefon’ itu, jatuh ke tangan (B)ell. Dan mengalahkan (A)lfa Edison di pengadilan.
Lalu orang pun bertanya-tanya, “kenapa Bell bisa menang? Dia kan tidak
diperhitungkan... ini tidak adil”
“Adil”, satu
kata, empat huruf, berjuta persepsi, multi-interpretasi. Betulkah penilaian masyarakat
saat itu, yang mengatakan kemenangan paten kepada Bell tidak adil? Saya
meragukan itu. Beberapa literatur sejarah, menerangkan bahwa Bell menyusun
strategi dengan para pakar hukum, dan berusaha tenang dihadapan orang, agar
orang tidak tahu apa yang sedang direncanakannya, padahal dibalik itu semua,
dia menguras semua energi yang dia bisa, untuk memenangkan hak paten tersebut.
Terkesan politis, tapi toh, dia berhasil menjadi pemenang. Dia menang, karena
dia berusaha dengan lebih. Dan Tuhan memberikan reward berupa kemenangan kepada
dia yang doing more.
***
Sejarah
terulang dalam kehidupan kita. Mungkin, kita terkadang membenci seseorang yang
terlihat spesial, dan mengatakannya politis, penjilat, cari muka, atau apapun. Kita
boleh saja menganggapnya salah jika memang dia berbuat tidak sesuai dengan
norma dan etika moralitas yang kita anut. Tapi bagi dia, itulah cara dia untuk
“doing more”, sesuai dengan aturan normalitas yang dianutnya. Dan, Tuhan pun
memberikan keadilan kepada mereka yang ‘melakukan lebih’.
Tidak mungkin
anda menyamakan orang yang memberikan sesuatu yang lebih kepada anda, dengan
orang yang tidak melakukan apapun bagi anda. Tidak mungkin orang yang belajar
giat, akan disamakan dengan mereka yang bermain sepanjang hari. Tidak mungkin
orang yang bersedekah, disamakan dengan orang yang bakhil. Tidak mungkin orang
yang bergerak, disamakan dengan mereka yang diam. Tidak mungkin orang yang
aktif membina sesuatu, disamakan dengan mereka yang duduk santai, mengkritik,
dan menghujat. Because, Doing more is in our nature.
Lalu, ketika
Tuhan pun men-spesial-kan mereka yang ‘doing more’, cibiran dan dengkian kita
bukanlah tindakan respon yang tepat. Harusnya kita bertindak seperti titah seorang
ulama, “jika dia pintar dengan sekali membaca, berarti aku memang ditakdirkan
Tuhan untuk empat kali membaca hal yang sama, agar dapat mendahuluinya”.
Karenanya,
sampai kapanpun, prinsip “high risk, high return” atau “no pain, no
gain” akan terus bergulir. Kita akan mendapatkan sesuai dengan yang kita
usahakan, dan kita akan mendapatkan lebih, jika kita melakukan sesuatu hal yang
lebih. Karena disitulah keadilan hidup. Thomas Jefferson pernah mengatakan,
“jika kita ingin mendapatkan sesuatu yang belum pernah kita dapatkan; maka kita
harus melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan”.
Allah
berfirman, (yang artinya) “manusia mendapatkan (balasan) sesuai dengan apa
yang dia usahakan” (2: 286; dan masih ada 27 ayat lain yang bermakna
serupa)
Ketika kita menyerah,
duduk menggerutu dan mengeluhkan tentang keadilan Tuhan, sebenarnya kita yang
tidak adil dengan diri kita sendiri. Karena kita dikalahkan oleh kedengkian.
Kita tinggal pilih, mau merenung “bodohkah saya?”, atau masihkah mau bertanya,
“adilkah Tuhan?”