25 Dec 2012

Adilkah Tuhan?



Alkisah, ada dua orang yang hidup di tahun 1890-an. Mereka berdua sedang berkompetisi untuk memperjuangkan hak paten penemuan sebuah ‘benda’. Sebut saja A, adalah seorang yang lebih berpengalaman dalam pengurusan hak paten, karena memang sudah lebih dulu sering ‘menciptakan’ berbagai macam benda. Sedangkan B, hanya merupakan instruktur dan pengajar American Sign Language (Bahasa Isyarat), yang  menciptakan ‘benda’ tersebut secara tidak sengaja. Banyak orang yang menjagokan A, karena dianggap sudah lebih dulu terkenal, dan lebih dulu sering menciptakan berbagai macam benda, “dia pasti akan memenangkan sengketa hak paten ini...”, begitu kata masyarakat Amerika saat itu. 

Sedangkan B, dianggap sebagai underdog. Tidak diperhitungkan. Terlebih karena dia tidak memiliki latar belakang apapun di bidang yang sedang diperjuangkannya. Dia hanya bermodalkan keyakinan, bahwa dia yang pertama kali menemukan sistem cara kinerja ‘benda’ tersebut (walaupun bermula dari coinsidence, kebetulan)

Ketika perkara telah diputuskan, ternyata paten hak cipta ‘benda’ yang kemudian dinamakan ‘telefon’ itu, jatuh ke tangan (B)ell. Dan mengalahkan (A)lfa Edison di pengadilan. Lalu orang pun bertanya-tanya, “kenapa Bell bisa menang? Dia kan tidak diperhitungkan... ini tidak adil
“Adil”, satu kata, empat huruf, berjuta persepsi, multi-interpretasi. Betulkah penilaian masyarakat saat itu, yang mengatakan kemenangan paten kepada Bell tidak adil? Saya meragukan itu. Beberapa literatur sejarah, menerangkan bahwa Bell menyusun strategi dengan para pakar hukum, dan berusaha tenang dihadapan orang, agar orang tidak tahu apa yang sedang direncanakannya, padahal dibalik itu semua, dia menguras semua energi yang dia bisa, untuk memenangkan hak paten tersebut. Terkesan politis, tapi toh, dia berhasil menjadi pemenang. Dia menang, karena dia berusaha dengan lebih. Dan Tuhan memberikan reward berupa kemenangan kepada dia yang doing more.
***

Sejarah terulang dalam kehidupan kita. Mungkin, kita terkadang membenci seseorang yang terlihat spesial, dan mengatakannya politis, penjilat, cari muka, atau apapun. Kita boleh saja menganggapnya salah jika memang dia berbuat tidak sesuai dengan norma dan etika moralitas yang kita anut. Tapi bagi dia, itulah cara dia untuk “doing more”, sesuai dengan aturan normalitas yang dianutnya. Dan, Tuhan pun memberikan keadilan kepada mereka yang ‘melakukan lebih’.

Tidak mungkin anda menyamakan orang yang memberikan sesuatu yang lebih kepada anda, dengan orang yang tidak melakukan apapun bagi anda. Tidak mungkin orang yang belajar giat, akan disamakan dengan mereka yang bermain sepanjang hari. Tidak mungkin orang yang bersedekah, disamakan dengan orang yang bakhil. Tidak mungkin orang yang bergerak, disamakan dengan mereka yang diam. Tidak mungkin orang yang aktif membina sesuatu, disamakan dengan mereka yang duduk santai, mengkritik, dan menghujat. Because, Doing more is in our nature.

Lalu, ketika Tuhan pun men-spesial-kan mereka yang ‘doing more’, cibiran dan dengkian kita bukanlah tindakan respon yang tepat. Harusnya kita bertindak seperti titah seorang ulama, “jika dia pintar dengan sekali membaca, berarti aku memang ditakdirkan Tuhan untuk empat kali membaca hal yang sama, agar dapat mendahuluinya”.

Karenanya, sampai kapanpun, prinsip “high risk, high return” atau “no pain, no gain” akan terus bergulir. Kita akan mendapatkan sesuai dengan yang kita usahakan, dan kita akan mendapatkan lebih, jika kita melakukan sesuatu hal yang lebih. Karena disitulah keadilan hidup. Thomas Jefferson pernah mengatakan, “jika kita ingin mendapatkan sesuatu yang belum pernah kita dapatkan; maka kita harus melakukan sesuatu yang belum pernah kita lakukan”.

Allah berfirman, (yang artinya) “manusia mendapatkan (balasan) sesuai dengan apa yang dia usahakan” (2: 286; dan masih ada 27 ayat lain yang bermakna serupa)

Ketika kita menyerah, duduk menggerutu dan mengeluhkan tentang keadilan Tuhan, sebenarnya kita yang tidak adil dengan diri kita sendiri. Karena kita dikalahkan oleh kedengkian. Kita tinggal pilih, mau merenung “bodohkah saya?”, atau masihkah mau bertanya, “adilkah Tuhan?”

Related Posts