Siang hari itu, cuaca Jakarta sangat terik dan menyengat. Nuansa khas gesselschaft seperti biasa juga terjadi, orang berlalu lalang dalam hiruk pikuk kota, dan sibuk dengan dirinya masing-masing. Di tengah keramaian itu, pandangan saya terpusat pada sesuatu yang juga tampaknya terpengaruh cueknya kota metropolis ini: seekor kucing.
Kucing itu berjalan dengan santainya, melewati celah-celah keramaian kaki-kaki para pedestrian yang eois, dan kucing itu juga sepertinya ikut-ikutan sibuk dengan pemikirannya sendiri. Ditengah perjalanannya menyusuri langkah kakinya, tiba-tiba ada tangan yang menahan langkahnya. Dua tangan yang kuat, seakan memaksa kucing itu untuk tidak lagi melangkah, memaksa untuk diam. Kucing itu pun berontak, dan mencakar tangan-tangan yang menahan keinginannya untuk terus berjalan. Kucing mungkin berpikiir, luka cakaran yang akan makin perih terkena keringat hasil udara yang panas menyengat, akan membuat tangan itu melepaskan genggamannya.
Tapi ternyata, tangan itu tetap menahannya. Tidak lama kemudian, suara klakson yang nyaring berbunyi, seiring dengan lewatnya gerbong-gerbong kereta api. Ya, tangan itu ternyata menahan kucing untuk menyeberangi rel kereta api, karena akan ada kereta yang lewat, yang tidak diketahui oleh kucing itu. Setelah kereta itu lewat, kucing pun dilepaskan. Tangan heroik penuh luka yang menyelamatkannya pun, dia lupakan. Dia kembali menyusuri perjalanannya, menyeberangi rel kereta api yang nyaris menghantam nyawanya, dan kembali cuek dengan pemikirannya.
Saya hanya bisa berucap, kejadian unik, melihat kucing yang tidak tahu diri.
Tapi kemudian, saya merenung. Bukankah ini yang biasa dilakukan oleh kita manusia?
Bukankah kita manusia sering mengeluh atas sesuatu kejadian yang tidak kita inginkan? Bukankah kita sering meratapi nasib yang tidak kita mau? Bukankah kita protes, tidak rela, dan memberikan reaksi negatif, atas keinginan-keinginan kita yang tidak tercapai? Bahkan, memprotes Tuhan atas takdir yang terjadi yang tidak sesuai harapan kita?
Kita pun selalu mengeluh dan merengek ketika keinginan kita tertunda. Tapi, kita melupakan Tuhan, ketika keinginan yang dulu kita tuntut siang dan malam, telah kita capai.
-----
Manusia memang penuh dengan keinginan, dan penuh dengan pengharapan. Karena hal itulah, manusia bisa menjadi dirinya sendiri. Tapi, kita mesti ingat, bahwa kita berada di tangan Tuhan. Dan kalau kita yakin kita adalah orang baik, tidak mungkin Tuhan akan mentakdirkan sesuatu yang buruk bagi kita.
Tertundanya sesuatu yang kita inginkan, atau terjadinya sesuatu yang tidak kita inginkan, ada suatu rencana yang indah dibaliknya. Ada suatu hikmah yang besar setelahnya. Ada suatu tangan yang menyelamatkan kita dari keinginan kita, dan mengarahkan kita kepada apa yang kita perlu dan butuhkan. Allah-lah Yang Maha Mengetahui Segalanya, lebih tahu apa yang kita butuhkan, dibanding kita.
".. Boleh jadi kalian membenci sesuatu,padahal ia amat baik bagi kalian. Dan boleh jadi kalian mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian.Allah Maha Mengetahui kalian tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah 216)
Jikalau kucing yang ingin menyeberang tersebut melukai tangan yang menyelamatkannya, kita sebut dengan kucing tidak tahu diri, bagaimana dengan hamba yang diselamatkan dari keinginan yang mungkin menjerumuskannya kedalam suatu keburukan, tapi kemudian meratapi dan memprotes akan nasibnya?
Ya Allah, jadikanlah aku hamba yang tahu diri, yang selalu mensyukuri takdir dan ketentuanMu.