Semua bermula, di Jakarta, kota metropolis yang berkarakter egois, individualis, dan gesselschaft. Seakan sesuai dengan bertebarannya gedung-gedung tinggi di kota ini, orang-orang congkak dan berlagak tinggi pun juga berhamburan di kota ini. Gedung-gedung tinggi, yang seakan-akan bayang-bayangnya mampu menutupi realita bahwa di kota tersebut masih banyak orang-orang yang memperjuangkan hidup dengan keras, dengan merendah diri, kontras dengan image pencakar langit.
Masih teringat diingatan saya, ketika seseorang yang mengendarai motor sedang parkir untuk membeli jajanan di pinggiran jalan. Pengendara tersebut, tidak beranjak dari motornya, sebab motor tersebut full dipenuhi barang-barang belanjaan. Mungkin pikirnya, repot jika harus turun dari kendaraan motor bebeknya tersebut. Tanpa disengaja, helmnya terjatuh, dan menggelinding ke arah trotoar yang kotor dan berdebu. Pemandangan unik pun terjadi tepat di depan mata saya. Para pedestrian di trotoar, hanya memandangi jalanan, tanpa ada yang menolong pengendara motor tersebut. Bahkan salah satu diantara mereka, melangkahi helm yang menggelinding, dan melanjutkan perjalanan dengan santainya.
Entah apa yang ada dibenak para pejalan kaki tersebut. Saya hanya bisa tertegun dan terdiam. Kondisi saya yang sedang melaju kencang di dalam kendaraan karena dikejar waktu, memaksa saya berbuat yang tidak jauh berbeda dengan mereka: diam. Tapi, satu hal yang menjadi tanda tanya besar di hati saya saat itu, “sesombong ini kah Jakarta?”
Kejadian itu berlalu, dan pertanyaan tersebut terus menggelayut. Hingga akhirnya, sampai berita ditelinga saya tentang kisah heroik yang sederhana. Seorang bapak yang merantau di tengah gang-gang kecil di kawasan padat Jakarta, dan bekerja hanya sebagai pegawai biasa. Setiap pagi, ia mengendarai vespanya yang bersahaja, menuju kantor. Dibalik laci samping vespa tersebut, ia menyimpan sebuah botol bekas minuman air mineral, yang ia isi full dengan bensin murni. Kita semua pasti berpikir, bahwa bahan bakar tersebut adalah penjagaan dan cadangan bagi dia, jika sewaktu-waktu dia kehabisan bensin di tengah jalan. Tapi anggapan itu salah.
Sebotol bensin tersebut, ternyata bukan untuk dirinya. Tapi, ia sediakan untuk membantu orang yang sedang kehabisan bensin di tengah perjalanan. Mungkin, sebuah cita-cita yang sederhana bagi kita, bahkan bisa jadi sebagian kita menganggap cita-cita tersebut hal yang remeh. Tapi tidak bagi dia. Sebotol bensin yang mungkin cuma berharga lima ribu rupiah, sangat berarti bagi mereka yang sedang mendorong motor di tengah gelapnya malam. Itulah yang ia pikirkan. Itulah yang membuatnya termotivasi untuk terus menyimpan bensin tersebut, dan tidak memakainya, hingga ia menemukan orang yang memerlukannya. Itulah cita-citanya. Dan saya rasa, itulah kunci surga yang telah diusahakannya.
Hingga suatu malam, diaberhasil menunaikan apa yang diimpikannya tersebut. Dan itulah amalan sholeh yang ia lakukan di lembar-lembar akhir kehidupannya. Ia tutup usia, tidak lama setelah ia melaksanakan apa yang ia citakan. Dan kisah ini pun saya dapatkan, ketika berziarah dan bertakziah ke kediaman keluarga besarnya. Di tengah jalan-jalan sempit Kota Jakarta, dibalik pencakar langit yang congkak, ternyata hidup seseorang yang masih menyelamatkan kota metropolis dari predikat ‘sombong’ dan ‘egois’.
Kita tahu, harga seliter bensin bukan tergolong mahal karena telah menjadi kebutuhan mendasar kita. Tapi, kisah nyata ini menjadi kisah heroik bukan karena harga seliter bensin tersebut. Tapi karena satu asas yang mulai dilupakan dalam kehidupan kita: ‘bermanfaat’. Pola hidup egois sudah mencengkram hati kita, hingga kita lebih sering mengambil manfaat dibanding memberi manfaat.
Bermanfaatlah, walaupun hanya seharga seliter bensin...