24 Dec 2015

Terima Kasih, Saya Bisa Memerangi Kebodohan Diri

Handphone saya berbunyi. dari nada khasnya, saya tahu itu adalah sebuah email. setelah saya buka, ternyata email tersebut tidak berbeda dengan email-email sebelumnya: sebuah email dengan attachment berupa sebuah foto dengan tampilan angka-angka. email tentang kuantitatif (lagi).
 
saya tidak langsung membalas email tersebut. saya sejenak berpikir, "mereka yang berkorespondensi tentang kuantitatif ini, apakah tidak salah memilih orang utk bertanya ya?"
 
 
***
saya flashback tentang kehidupan pribadi. pendidikan saya terdahulu sangat berjauhan dari angka dan penalaran logis matematis. ketika SMA, saya memilih jurusan IPS, karena kelemahan saya dalam memahami rumus dan konsep fisika. diploma terakhir saya pun jurusan sastra arab, angka hanya dipelajari terjemahnya saja, bukan operasionalnya. bahkan selama saya di Sukabumi itu, aktivitas saya sehari-hari lebih banyak dihabiskan di studio editing sound dan video. i'm so blind about numbers!
 
lalu, bagaimana ceritanya sekarang kok malah banyak bersinggungan dengan dunia riset kuantitatif? padahal kuantitatif cenderung dihindari oleh orang, umumnya karena "ketakutan" mereka terhadap angka. dan metodologi riset kuantitatif bukan hanya sekedar berbicara angka, tapi juga pemahaman komprehensif terhadap teori, pengukuran psikometri yang tepat, serta uji yang tepat. intinya, riset kuantitatif dianggap susah dan ribet oleh kebanyakan orang.
 
So, apakah artinya saya cerdas dan pintar, karena memahami riset kuantitatif dibanding orang lain? atau karena saya terbiasa minum tolak-an*in? :D
no. tidak seperti itu. itu pemikiran instant. saya memahami apa yang dianggap orang sulit, bukan karena saya pintar. tapi jelas karena saya belajar.
 
saya memanfaatkan kebiasaan tubuh saya yang sangat nocturnal, untuk memanfaatkan hening dan tenangnya malam untuk belajar. saya harus belajar, ketika orang lain sedang nikmat tidur.
 
saya pun harus mem-print apa yang saya ingin pelajari, lalu memberikan catatan kecil, kemudian mencatat (mengetik) ulang di computer, karena saya takut catatan-catatan fisik tersebut bisa hilang. sehingga saya membiasakan untuk mencatat secara digital (itulah yang akhirnya menjadi panduan-panduan kuantitatif di blog ini).
 
saya tidak bisa belajar seperti orang-orang yang sekali membaca dan mencatat lalu mereka bisa paham. saya harus membaca, mencatat referensi, mengulang, dan mencatat ulang secara digital. saya lebih bodoh dibanding mereka yang bisa paham dengan sekali membaca.
 
dan, saya perlu 2 tahun. ya, sekitar 2 tahun, hampir setiap malam mengulang dan mempelajari seluk-beluk penelitian dan angka-angka. perlu waktu 2 tahun untuk saya bisa memahami inti dari pengukuran dalam skripsi saya. di saat orang lain sudah mulai sibuk mulai mengerjakan skripsinya, saya masih sibuk untuk sekedar memahami dan mendalami tentang riset kuantitatif. saya terlalu bodoh untuk bisa langsung paham dan mengerjakan skripsi secepat itu.
 
satu hal yang selalu saya pegang: saya tahu saya bodoh, berarti saya tahu apa yang harus dilakukan. Belajar, dan terus belajar!


 
 
 ***
saya kembali dari lamunan, dan focus lagi menatap layar di genggaman. saya membalas sesuai yang saya bisa jawab, lalu membubuhkan ungkapan terima kasih di akhir pesan tersebut.
 
melalui tulisan ini, saya juga berterima kasih kepada teman-teman dan juga bahkan dosen-dosen yang mempercayai kapabilitas saya. kepercayaan tersebut membuat saya terus semangat belajar mengeksplorasi, mengembangkan diri, dan terus memerangi kebodohan dalam diri.
 
 
Thanks for you all...
 
 
***
NB: tulisan ini saya dedikasikan untuk my brother.
diskusi kita mengingatkan saya,
bahwa pemahaman dan keilmuan bukanlah instan.
kita perlu tenaga lebih, effort usaha lebih, dan waktu yang lebih.
no pain, no gain. semangat!
 
 
 
 
 
Previous Post
Next Post