Tulisan singkat ini, masih
berkenaan dengan program pengumpulan opini teman-teman mahasiswa tentang mata
kuliah yang dianggap sulit,
Peran pengajar atau pengampu mata
kuliah juga berperan penting dalam opini tersebut. Dan saya sebagai inisiator
program ini, sedang berusaha melakukan simplifikasi kategori factor penyebab
kesulitan mata kuliah, menjadi beberapa kategori utama saja. Namun, sebagian
besar memang selalu mengaitkan antara mata kuliah yang sulit, dengan dosen
pengajarnya, mulai dari aspek teknik atau metode mengajar, hingga pada
profesionalisme.
Tapi, yang ingin saya kupas disini,
adalah analisis sederhana saya (dan juga hasil diskusi dengan beberapa orang),
mengenai “kenapa dosen ini begitu, dan kenapa dosen itu begini?”
Analisa saya hanya hasil pemikiran
saja, tanpa didasari oleh penelitian mendalam. Jadi validitasnya tidak usah
diperdebatkan lah ya, karena ini sekadar cuap-cuap saja. Dan, saya hanya
terbatas pada 4 dosen tetap yang lama, karena saya belum ada interaksi dengan
para dosen baru yang ada.
--
Kita mengenal seorang Ibu dosen
yang membidangi klinis. Berdasarkan hasil angket, beberapa mahasiswa mengaku
kesulitan dalam mata kuliah yang diampu oleh dosen tersebut, karena metode
beliau yang “student-centered”. Dan tahukah anda, bahwa tempat beliau menempuh
studi dulu, memang para dosen hampir seluruhnya menerapkan pola tersebut.
Beberapa teman saya di Jawa memang menyebutkan, bahwa hampir seluruh tenaga
pendidik jebolan sana, memiliki pola student-centered. Jadi, kita para
mahasiswa, memang harus lebih aktif dalam mata kuliahnya. Efeknya pasti bagus
kan?
--
Ada juga satu dosen yang bidangnya
sepertinya lebih ke industry. Saya sendiri tidak memiliki informasi yang banyak
tentang beliau ini. Tapi, seorang rekanan yang kuliah di dekat kampus beliau
waktu S1 dulu, mengatakan bahwa kampus tersebut menerapkan peraturan: “jika 15
menit dosen tidak hadir, mahasiswa boleh pulang”. Ternyata itu juga diterapkan
disini. Tapi memang cukup fair ya. Dan pasti ini lebih disukai mahasiswa,
dibanding dosen PHP yang ditunggu tak kunjung datang. Dan mahasiswa pun
akhirnya iseng-iseng menulis puisi “Sabar Menanti”
--
Wanita terakhir, adalah seorang Ibu
dosen yang menurut beberapa mahasiswa memiliki sikap mengayomi dan mampu
mengakomodir berbagai perselisihan pendapat yang ada. Cara mengajar pun cukup
detail, A to Z. apakah ini ada hubungannya dengan pengalaman beliau yang banyak
berinteraksi dengan anak usia sekolah dasar ya? Karena beliau dulu aktivitasnya
di sebuah sekolah dasar favorit di Samarinda ini.
--
Yang terakhir, adalah seorang Bapak
dosen yang banyak dikeluhkan karena tugasnya (bisa dilihat hasil angket
disini). Ketika beliau diajak diskusi mengenai hasil angket itu pun, menjawab
simple, “hidup itu memang harus dikerasin biar maju”. Mengenai masa lalu
beliau? Pasti para mahasiswa psikologi sudah tahu dong ya, dan pasti kita bisa
mengaitkan masa lalu beliau itu dengan gaya mengajar beliau di kelas.
--
So, analisa sederhana ini bagi saya
menyimpulkan satu konklusi: “jika kita mengetahui benang merah antara perilaku
seseorang dengan sesuatu yang melarbelakanginya di masa lalu, maka timbul
sebuah kepahaman. Dari kepahaman tersebut bisa timbul toleransi, sikap
menghargai, dan: adaptasi, atau kemampuan kita menempatkan dan menyesuaikan
diri”.
Saya teringat, ketika dalam sebuah
perjalanan pesawat, layar televisi in-flight entertainment di kursi saya
mengiklankan sebuah video bertajuk “Indonesia: Ultimate in Diversity”. Saya
pikir, sebuah penalaran positif terhadap diversitas yang dibawakan dalam video
tersebut, bisa diaplikasikan di kampus kita, khususnya di psikologi,
“Psychology: Ultimate in Diversity”.