1 Apr 2014

Ultimate in Diversity (PIC Part 2)


Tulisan singkat ini, masih berkenaan dengan program pengumpulan opini teman-teman mahasiswa tentang mata kuliah yang dianggap sulit,

Peran pengajar atau pengampu mata kuliah juga berperan penting dalam opini tersebut. Dan saya sebagai inisiator program ini, sedang berusaha melakukan simplifikasi kategori factor penyebab kesulitan mata kuliah, menjadi beberapa kategori utama saja. Namun, sebagian besar memang selalu mengaitkan antara mata kuliah yang sulit, dengan dosen pengajarnya, mulai dari aspek teknik atau metode mengajar, hingga pada profesionalisme.

Tapi, yang ingin saya kupas disini, adalah analisis sederhana saya (dan juga hasil diskusi dengan beberapa orang), mengenai “kenapa dosen ini begitu, dan kenapa dosen itu begini?”

Analisa saya hanya hasil pemikiran saja, tanpa didasari oleh penelitian mendalam. Jadi validitasnya tidak usah diperdebatkan lah ya, karena ini sekadar cuap-cuap saja. Dan, saya hanya terbatas pada 4 dosen tetap yang lama, karena saya belum ada interaksi dengan para dosen baru yang ada.


--

Kita mengenal seorang Ibu dosen yang membidangi klinis. Berdasarkan hasil angket, beberapa mahasiswa mengaku kesulitan dalam mata kuliah yang diampu oleh dosen tersebut, karena metode beliau yang “student-centered”. Dan tahukah anda, bahwa tempat beliau menempuh studi dulu, memang para dosen hampir seluruhnya menerapkan pola tersebut. Beberapa teman saya di Jawa memang menyebutkan, bahwa hampir seluruh tenaga pendidik jebolan sana, memiliki pola student-centered. Jadi, kita para mahasiswa, memang harus lebih aktif dalam mata kuliahnya. Efeknya pasti bagus kan?

--

Ada juga satu dosen yang bidangnya sepertinya lebih ke industry. Saya sendiri tidak memiliki informasi yang banyak tentang beliau ini. Tapi, seorang rekanan yang kuliah di dekat kampus beliau waktu S1 dulu, mengatakan bahwa kampus tersebut menerapkan peraturan: “jika 15 menit dosen tidak hadir, mahasiswa boleh pulang”. Ternyata itu juga diterapkan disini. Tapi memang cukup fair ya. Dan pasti ini lebih disukai mahasiswa, dibanding dosen PHP yang ditunggu tak kunjung datang. Dan mahasiswa pun akhirnya iseng-iseng menulis puisi “Sabar Menanti”

--

Wanita terakhir, adalah seorang Ibu dosen yang menurut beberapa mahasiswa memiliki sikap mengayomi dan mampu mengakomodir berbagai perselisihan pendapat yang ada. Cara mengajar pun cukup detail, A to Z. apakah ini ada hubungannya dengan pengalaman beliau yang banyak berinteraksi dengan anak usia sekolah dasar ya? Karena beliau dulu aktivitasnya di sebuah sekolah dasar favorit di Samarinda ini.

--
Yang terakhir, adalah seorang Bapak dosen yang banyak dikeluhkan karena tugasnya (bisa dilihat hasil angket disini). Ketika beliau diajak diskusi mengenai hasil angket itu pun, menjawab simple, “hidup itu memang harus dikerasin biar maju”. Mengenai masa lalu beliau? Pasti para mahasiswa psikologi sudah tahu dong ya, dan pasti kita bisa mengaitkan masa lalu beliau itu dengan gaya mengajar beliau di kelas.

--

So, analisa sederhana ini bagi saya menyimpulkan satu konklusi: “jika kita mengetahui benang merah antara perilaku seseorang dengan sesuatu yang melarbelakanginya di masa lalu, maka timbul sebuah kepahaman. Dari kepahaman tersebut bisa timbul toleransi, sikap menghargai, dan: adaptasi, atau kemampuan kita menempatkan dan menyesuaikan diri”.


Saya teringat, ketika dalam sebuah perjalanan pesawat, layar televisi in-flight entertainment di kursi saya mengiklankan sebuah video bertajuk “Indonesia: Ultimate in Diversity”. Saya pikir, sebuah penalaran positif terhadap diversitas yang dibawakan dalam video tersebut, bisa diaplikasikan di kampus kita, khususnya di psikologi, “Psychology: Ultimate in Diversity”.

Related Posts