Beberapa hari sebelum trip ke Sulawesi,
saya sempat menggarap sebuah kegiatan pengumpulan opini teman-teman mahasiswa,
mengenai mata kuliah yang sulit, melalui angket terbuka.
Walaupun jumlah data yang terkumpul masih terasa belum cukup signifikan untuk merepresentasikan opini mahasiswa secara valid merata (hanya seratusan data saja yang masuk), tapi data yang masuk, cukup memberikan sebuah insight terhadap apa yang ada di kepala para mahasiswa psikologi.
Memang, saya tidak ada kapasitas
apapun untuk membahas atau menginterpretasi secara detail tentang hasil angket
tersebut. Tugas saya hanya cukup menyajikan data, dan interpretasi terhadap
data tersebut, dikembalikan pada opini para pembacanya, khususnya para sesama
mahasiswa.
Namun, sebagai orang yang suka
cuap-cuap dan senang diskusi, saya sedikit mengutip dan memasukkan wawasan,
untuk menjadi bahan acuan kita dalam menyikapi data yang ada tersebut.
Dapat dilihat dari grafik, opini
mengenai mata kuliah yang dianggap sulit, terlihat lebih beragam dan lebih
kompleks pada mahasiswa yang berada pada semester tinggi. Mungkin saja ya, ini termasuk
yang dimaksud dengan curriculum overload pada laporan UNESCO tahun 2003,
Memang unik ya, karena bahkan sejak di sekolah dasar, kita diajarkan oleh para pakar di bidangnya. Dan bahkan kita sangat mendambakan untuk diajar oleh orang yang ahli di bidangnya. Kita senang jika seorang dokter atau biologist mengajarkan kita tentang psikologi faal, seorang environmentalist mengajarkan psikologi lingkungan, dan lainnya. Tapi, para ahli itu mengajarkan hal yang sama kepada setiap orang, kan? Sedangkan kita mahasiswa dituntut untuk bisa meraih A di semua mata kuliah yang dipelajari. (Tapi, ternyata para ahli itu juga mengalami hal yang sama ketika mereka mahasiswa, LOL). Pemikiran kritis inilah yang memotivasi pakar pendidikan Sugata Mitra, seorang professor pendidikan di Newcastle University UK, menerbitkan artikel “The Child-Driven Education”, dan mimpinya adalah “membangun sekolah di ‘awan’, dimana setiap anak bisa eksplorasi dan saling belajar-mengajar satu sama lain”.“Indonesia: There is a lot of public dissatisfaction with the large number of subjects in the present curriculum. There is too much detail that needs to be memorized and not enough focus on understanding and analysis.” - UNESCO (2003). Building the Capacities of Curriculum Specialists for Education Reform. Asia and Pacific Regional Bureau for Education.
Mungkin, yang utama bagi kita semua adalah, ketika ada
seorang mahasiswa atau pelajar yang jelek di suatu mata kuliah tertentu, jangan
langsung di cap negative, atau di cap bodoh. Disini mungkin perlu kita lebih
mendalami “practical wisdom” (artikelnya tentang ini masih dalam pengerjaan,
dan akan saya posting kemudian). Ketika seorang mahasiswa kesulitan, mungkin memang ada
suatu hal yang tidak macth antara dirinya dengan mata kuliah yang dianggapnya
sulit tersebut. Tugas kita: membantunya.
Dan, itulah tantangan dalam pendidikan seumur hidup: no
pain, no gain.
*baca juga tulisan saya tentang "penilaian" dosen psikologi Unmul, klik
di sini
* Referensi
- - UNESCO http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001324/132494e.pdf
- - NCAA http://www.ncca.ie/
*bacaan lebih lanjut untuk wawasan (silahkan googling):
- Ken Robinson, “How Schools Kills Your Creativity”.
Ken Robinson adalah ketua Komite Penasihat di bidang Creative and Cultural Education di pemerintahan Britania Raya. - Democratic Education