Ketika sedang asyik santai, saya ditanya oleh teman tentang pendapat saya terhadap sentralisasi kepemimpinan. "Mengharuskan seluruh detail organisasi melalui jalur pemimpin", tambahnya menjelaskan kondisi yang dimaksud. Saya hanya mengernyitkan dahi, sambil berkata, "emang masih jaman?"
*Logika Sederhana*
Saya tidak perlu berpikir rumit, untuk memberikan pernyataan bahwa pemimpin model seperti itu berarti pemimpin yang tidak siap untuk membawa institusi yang dipimpinnya menjadi besar.
Ambil saja contoh sederhana. Ketika Anda belum memiliki KTP, apakah harus menghubungi Presiden RI sebagai pucuk pimpinan tertinggi di negara kita?
Ketika kita ingin mengurus beasiswa di kampus, apakah kita harus mengejar jadwal kesibukan Rektor untuk meminta persetujuannya?
Kedua contoh sederhana itu menandakan, bahwa pemimpin yang besar, dan bercita-cita besar mempercayai organisasinya. Presiden percaya bahwa SKPD terkait hingga unit terkecil dapat menyelesaikan masalah KTP tersebut. dan Rektor percaya, bahwa sistem birokrasi yang dibentuk mampu menyalurkan beasiswa secara proporsional.
Pemimpin besar tidak disibukkan oleh hal-hal kecil. Tapi dia percaya bahwa organisasinya mampu menyelesaikan hal tersebut.
*Bukti Sejarah*
Tahun 1945, Soekarno dielu-elukan oleh seluruh masyarakat Republik yang baru terbentuk ini. Tapi, siapa sangka, seiring perjalanan kepemimpinannya, Soekarno memperlihatkan gelagat sentralisasi kebesarannya sebagai pemimpin: membentuk demokrasi terpimpin, membubarkan parlemen, ingin menjadi presiden seumur hidup, membatasi dan membubarkan partai politik, mengambil alih pimpinan Angkatan Bersenjata, dan lain sebagainya. Pokoknya, dia ingin segala sesuatunya dikendalikan dari tangannya.
Hasilnya apa? Demokrasi terpimpin yang diciptakannya, justru memupuk kebencian. Tahun 1966, tokoh yang dulu begitu dicintai ini dibenci oleh nyaris seluruh rakyat saat itu. Hingga beralih pada masa orde baru.
Masa orde baru pun akhirnya lama-kelaman mulai tersentralisasi. Bermula dari UU No. 5 tahun 1974 yang mengatur tentang pemerintahan daerah dengan sangat sentralistik. Sistem pertahanan dan keamanan terpusat pada komando The Smiling General. Semua kebijakan dan peraturan daerah dikendalikan oleh pusat. Daerah hanya memiliki wewenang untuk menjalankan dan menerapkan peraturan yang sudah dibuat oleh pusat. Bahkan posisi pejabat daerah, harus mendapat restu dulu dari pemerintah pusat. Pokoknya pemerintah pusat ga mau ketinggalan untuk campur tangan urusan daerah, walau yang terpencil sekalipun.
Hasilnya apa? Tahun 1998 adalah puncak kejemuan rakyat. Tokoh yang dulu dicintai karena berhasil menumpas PKI tahun 66 itu, justru dibenci dan dihina.
See? Sejarah bangsa membuktikan, bahwa sentralistik pada pemimpin ternyata hanya mengubah cinta follower menjadi kebencian.
*Teori Kepemimpinan*
Masyarakat sekarang ini lebih cerdas, walaupun kadang kebablasan dengan dalih "kebebasan berpikir"-nya. Tapi, melihat kecenderungan zaman sekarang, orang sudah lebih kritis dan tidak lagi mau hanya dipimpin secara otoriter. Orang yang independen akan lebih senang jika diberi kepercayaan dibanding dikontrol secara terus menerus.
Lihat saja anak-anak zaman sekarang, mereka akan "berontak" kalau diasuh dengan pola otoriter. Mereka menuntut untuk diberikan kepercayaan dan independensi dalam beberapa hal. Itulah yang dikenal dengan pola authoritative yang diperkenalkan oleh Diana Baumrind (jurnal Effects of Authoritative Parental Control on Child Behavior, 1966).
Dalam hal kepemimpinan, Daniel Goleman (dalam Emotional Intelligence) menjelaskan kepemimpinan authoritative merupakan kepemimpinan yang paling berefek positif dalam lingkungan organisasi.
*Konklusi*
Akhir abad 18 saja, kepemimpinan sentralistik sudah dikritik. John Dalberg Acton mengatakan "power tends to be corrupt, but absolute power is corrupt absolutely" (kekuasaan membawa kecenderungan korupsi. Tapi kekuasaan mutlak sudah tentu sebuah korupsi).
So, di abad 21 ini masih ada orang dengan kepemimpinan sentralistik yang ingin ngatur segalanya? emang masih jaman?
--