11 Jun 2011

Kemalasan vs Produktivitas

dalam keseharian kita, terkadang kita pernah merasa lelah, dan juga "malas". umumnya, kita menilai kehadiran rasa malas tersebut dengan indikasi hilangnya produktivitas, waktu luang dan kosong yang banyak, bersantai, tidak mau bergerak, tidak mau bekerja, dsb. pertanyaannya, apakah betul hal tersebut mengindikasikan kemalasan? dan apakah malas tersebut yang harus dihindari?

saya teringat pada mendiang ayah saya (rahimahullah), yang harus bekerja ke site HPH-nya di daerah Sumatera Utara, selama 2 pekan. baru kemudian pulang lagi ke rumahh pada 2 pekan berikutnya. hal ini hampir terjadi pada tiap bulannya. point yang penting adalah, apabila saya melihat pada 2 pekan ketika beliau ada di Jakarta, maka saya bisa mengatakan dia adalah ’pemalas’. sebab apa yang dilakukannya adalah hanya berlibur, bersantai dengan keluarga, bersenda gurau, dsb. seakan-akan produktivitasnya hilang.

but, apakah benar hal tersebut bisa dibilang malas? sedangkan achievement-nya diakui oleh koleganya di kantor, bahkan pernah membuat sejarah dengan promosi jabatan sebanyak 3 kali dalam sebulan. apakah itu bisa diraih oleh seorang pemalas? disinilah, kita perlu mengubah point of view terhadap kemalasan itu sendiri. kita tidak bisa memandang seseorang hanya dari separuh bagian hidupnya, separuh bagian waktunya, dan separuh bagian produktivitasnya. kita menilai kemalasan seseorang, dari sudut pandang yang luas, dan komprehensif, memandang dia sebagai ’manusia seutuhnya’.

kemalasan, bisa kita nilai, dengan mengkomparasikannya terhadap produktivitas secara akumulatif dan holistik. artinya, bandingkan saja dalam keseharian seseorang: apakah ’waktu luang’, ’waktu bermain games’, ’waktu santai’ yang ia miliki, melebihi produktivitasnya, yang disesuaikan dengan status dan perannya dalam masyarakat? jika iya, maka bisa kita sebut dia pemalas.

tapi, jika ternyata waktu luang yang dia habiskan, walaupun terlihat banyak menurut mata kita (orang umum), tapi belum mengalahkan nilai produktivitasnya, maka dia bukanlah seorang pemalas. toh, waktu luang serta hiburan yang dia lakukan, akan terbayarkan dengan produktivitas yang akan dia hasilkan lagi di masa hadapannya. 

so, don’t judge to quickly. dalam kacamata anda, mungkin someone adalah pemalas. tapi, belum tentu. karena kita belum melihat produktivitasnya. memang, hal ini sangatlah abstrak. ditambah lagi, produktivitas seseorang dengan yang lainnya, tidak bisa distandarkan menjadi satu standar yang tetap. seperti yang saya sudah singgung sedikit sebelumnya, penilaian produktivitas seseorang, sangat berkaitan dengan status dan peran sosial dia dalam kelompok masyarakat. sebagai contoh, seorang kuli bangunan, dengan bekerja aktif selama 6/7 jam sehari, maka dia bisa kita bilang produktif untuk kelasnya. tapi, bagaimana dengan mahasiswa, yang tugasnya ’hanya’ belajar di kelas kampus selama 3 jam perhari, tanpa ada tambahan kegiatan lainnya di luar kampus? bisakah kita katakan ’dia mahasiswa produktif’? saya kira sulit. sebab, status mahasiswa menuntut peranan yang cukup tinggi di masyarakat (seharusnya..)

jadi, pandangilah diri anda sebagai manusia yang utuh. tidak ada manusia yang super yang bisa bekerja terus-menerus. jika suatu saat anda merasa ’ingin bersantai’, merasa ’malas’, selama hal tersebut tidak mengalahkan mutu produktivitas anda secara keseluruhan, maka nikmatilah masa-masa ’malas’ tersebut, sebagai keutuhan anda sebagai manusia yang normal, eksis, dan apa adanya. karena hanya Allah yang tidak mengantuk dan tidak tidur....

Related Posts