24 Jun 2011

Membahasakan Cinta

hari ini, saya dihadapkan pada dua fenomena menarik, yang berada dalam dua kutub polaritas yang bertentangan secara ekstrem. setelah shalat isya’, ada seorang bapak, yang mengajak berbincang. perbincangan awalnya, tidak mengarah kepada permasalahan keluarga. tapi, lama kelamaan mengarah kesana.

sang ayah, yang terlihat raut sabar pada guratan wajahnya, mengeluh tentang kondisi anaknya yang nakal. tapi, ia menceritakan dengan senyuman. sambil mengelus dada, "saya ndak tega...". itu kalimat yang terucap. biasanya, kondisi ini menggambarkan bahwa betapa besar cinta seorang ayah atau orang tua, kepada anaknya. tapi malam ini saya berpikir sedikit terbalik: "apakah ini bentuk cinta kepada orang tua?"

betulkah ini manifestasi cinta? ternyata, bukan saya yang menjawab. ayah dari anak tersebut, mengatakan "maklum, dia masih muda, masih cari perhatian dengan orang tuanya...". sontak, saya berfikir, ini betul sebuah cinta. hanya saja dalam bentuk refleksi yang berbeda dari umumnya.

tapi, secara humanistik mungkin saya bisa mengatakan, "anak itu, perlu perhatian lebih dari orang tuanya. dan
itu adalah refleksi cinta dia. dia mencintai orang tuanya, ketika mereka memperhatikannya secara lebih dari umumnya. hanya saja, cari perhatiannya sedikit tidak lazim, dan berbentuk destruktif"

tidak lama setelah pertemuan tersebut, saya meluncur untuk bertemu dengan satu keluarga, dengan suatu maksud tujuan tertentu. fenomena yang berbeda saya temukan disini. sebuah keluarga yang sangat akrab, bahkan saya terasa seakan-akan adalah bagian dari keluarga tersebut. sebuah keluarga yang penuh dengan keterbukaan, kehangatan, dan komunikasi positif. bertemu dengan keluarga ini, saya kembali terlintas dalam pikiran saya tentang keluarga sebelumnya, sang ayah yang sabar, menghadapi anak yang ’mencintainya’
kedua kejadian terebut, nampak dalam mata, hanya dalam satu malam. ketenangan menerpa hati, untuk mendalami hikmahnya. semua adalah kekuasaanNya. dua buah keluarga, yang walaupun berbeda secara kasat mata, tapi satu inti yang dapat ditarik kesimpulan: semua keluarga ada karena cinta.

ya, cinta. seekor serigala yang ganas pun, tidak akan menyerang anaknya sendiri. begitu juga sebaliknya. hanya fenomena luar biasa, yang disebabkan oleh hal-hal tertentu di luar kebiasaan, yang dapat menyebabkan hal tersebut terjadi. tapi, secara fitrah, semua seharusnya berjalan sesuai sunnatullah, berada dalam satu koridor anugerahNya: cinta.

saya meyakini, bahwa tidak ada anak yang tidak mencintai orang tuanya. hanya saja, kadar, cara merefleksikan, dan manifestasinya berbeda-beda. untuk sebagian orang, mengecup kenign orang tua mungkin dianggap berlebihan dan tidak lazim. tapi bagi sebagian yang lain, itu adalah cinta. bagi sebagian orang, mencium tangan dan pipi orang tua adalah hal yang aneh dan tidak biasa, tapi bagi sebagian yang lain, itu adalah cinta.

mari kita pandangi hal lain, dengan perspektif yang sama. bagi sebagian orang, anak yang nakal merupakan hal yang tidak ditolerir. tapi mungkin bagi sebagian orang tua, mereka menerimanya sebagai bentuk ’cari perhatian’, dan itu adalah cinta. anak yang minggat atau kabur dari rumah, bagi sebagian orang dianggap sebuah bentuk pemberontakan, kebencian, dan ketidaksukaan terhadap rumah. tapi, yakinlah, bahwa dibalik rasa itu semua, ada terbersit dihatinya yang berkata "ayah, ibu, yakinilah, saya bisa mandiri, saya bisa mengurangi beban ayah ibu", atau "saya lari, agar ibu tidak lagi marah-marah", atau "saya tinggalkan ibu dan ayah, agar kalian memperhatikan saya". dan itu semua, adalah cinta.

semuanya, baik dalam ’casing’ positif atau negatif, adalah bentuk cinta. hanya saja, kita, sang anak, jarang berpikir. apakah orang tua kita mengerti refleksi cinta kita? apakah refleksi cinta kita ini, adalah sesuai harapan mereka? apakah manifestasi cinta kita selama ini, merupakan impian mereka dalam membesarkan kita? disinilah, kita merenung.

kita punya bahasa. suatu bentuk refleksi, dan maniestasi, yang minim dari multitafsir. resistan dari deviasi budaya.. dan bahkan tidak lekang dimakan zaman. disinilah cara, untuk mengekspresikan cinta kita. disinilah muara, untuk menyatukan verbala dan psikomotorik kita, untuk suatu ungkapan: cinta. dengan pengungkapan cinta yang mudah dipahami, maka orang tua akan menyadari kewujudan, eksistensi, dan besaran cinta kita.
orang tua kita, sesungguhnya menantikan sebuah ungkapan itu, karena mereka cemas, bahwa cinta mereka tidak berbalas. kita yakin, bahwa kita pasti mencintai mereka. hanya saja, ungkapan kita mungkin terkadang tidak dipahami. karena kita tidak membahasakan secara tepat. mulai detik ini, mari, bahasakan cinta....


we love our parents, love u mum, love u dad

Related Posts