Hari itu, jam tangan saya menunjukkan pukul 10.20 WIB. Cuaca Jakarta sedang agak bersahabat bagi orang yang mudah berkeringat seperti saya. Saya sedang menunggu kereta tujuan Bekasi, tiba-tiba seorang pria dewasa datang ke loket karcis dengan tergopoh-gopoh menenteng sepeda roda tiga di tangannya. Raut wajahya dengan jelas menggambarkan bahwa kerasnya kehidupan di kota telah menguras tenaganya dari waktu ke waktu. Keriput di sekitar matanya menjelaskan kepahitan dalam menatap nasib, dan hangus badannya memberitahu tentang panasnya ibukotauntuk mengadu nasib.
Namun, dibalik penampilan dengan sandal jepit karet tersebut, sebuah senyum sumringah menghiasi wajahnya. Warna kebahagiaan seakan mampu menghapus raut sendu yang ada.
"Keretanya masih satu jam lagi, Pak..." kata petugas karcis.
Masih dengan senyumnya yang kaku, bapak itu merogoh telepon genggam dari saku jeansnya untuk melihat penunjuk waktu. Sesaat kemudian, dia membeli karcis, dan menuju kursi tempat menunggu di peron. Satu benda yang masih ditentengnya: sebuah sepeda roda tiga.
Sepeda itu, mungkin belum masuk dalam kategori butut. Kondisinya mungkin masih layak pakai. Tapi sepertinya sudah tidak nyaman untuk dikendarai, dengan posisi besi-besi roda yang sudah tidak rata. Tapi hal tersebut tidak mampu meghapus senyum bahagianya. Waktu menunggu yang biasanya terasa membosankan, betul-betul dimanfaatkan olehnya, untuk merekondisi sepeda yang tidak pernah terlepas dari tangannya. Sebagaimana rona bahagia yang juga tak mampu lepas dari wajahnya.
Detik demi detik yang berlalu, tangannya hanya disibukkan oleh benda tua tersebut. Sesekali dia memaksa besi-besi yang sudah miring, agar kedua roda belakang menjadi rata sama-sama menyentuh tanah. Juga kanopi penutup antipanas yang terlipat, sesekali dipaksanya agak kuat, karena kanopi itu sudah tidak mampu terbuka dengan sempurna. Agaknya, perlu effort yang begitu besar agar sepeda tersebut bisa menjadi baik sempurna seperti semula. Tapi baginya, kebahagiaan tidak memerlukan sebuah sepeda yang sempurna. Saya merenung, bahagia itu tidak memerlukan kesempurnaan, tapi jika kita bahagia, segala sesuatu terasa sempurna, karena kita bersyukur. Syukurlah yang menjadi penyempurna hidup.
Pertemuan dengan orang itu, betul-betul memberi saya pengajaran dan hikmah yang mendalam. Banyak diantara kita, sibuk dengan hal-hal yang berbau materi untuk membahagiakan diri. Anak-anak muda harus mengenggam gadget-gadget anyar untuk membahagiakan diri mereka, kaum sosialita harus menampakkan perhiasan mewah demi kebahagiaan mereka. Walaupun itu bukanlah kebahagiaan yang hakiki, tapi itu sah-sah saja, karena memang kita terkadang memerlukan benda berharga untuk 'kesenangan' dan kebahagiaan. Hal itu yang terjadi pada Bapak itu. Baginya, saat itu, sepeda roda tiga itu adalah sebuah benda berharga.
Jika melihat sepeda itu di pinggiran jalan, mungkin saya hanya akan berlalu tanpa menoleh sedikit pun. Tapi ternyata, bagi orang lain, sepeda itu bisa jadi sumber kebahagiaan mereka. Sebuah sepeda bekas yang mendatangkan senyum merona bahagia, sebuah sepeda usang yang kini menjadi benda berharga.