30 Mar 2011

Konsultasi Anak-anak Bermasalah

21 Januari 2011, Konsultasi anak-anak bermasalah

Hari rabu lalu, telepon saya berdering. Di ujung telepon sana, seorang kepala sekolah dari salah satu SMK di samarinda, yang juga teman baik saya, mengabarkan sesuatu hal. Ada tiga orang spesial yang bertamu ke tempat kita. Mereka adalah para siswa SMP yang “diutus” ke tempat kami (pesantren), untuk dibina. Mereka sedang dalam hukuman skorsing, karena sebuah pelanggaran.

Secara konkret, saya tidak tahu permasalahan dan kesalahan yang mereka lakukan hingga di hukum skorsing selama satu pekan. Hingga pada saat pertemuan tatap muka dengan mereka, pada hari saya menulis ini. Pertemuan dengan mereka, menorehkan kesan dan pelajaran yang berharga.

Secara umum, saya sering melakukan sharing dengan anak-anak usia sekolah menengah seumuran mereka. Tapi satu hal yang unik pada diri mereka, adalah kecilnya nilai keterbukaan diri. Bertolak belakang dengan para siswa yang biasa saya tangani di SMK pimpinan teman saya tersebut.

Setidaknya, ada beberapa aspek yang menjadi sebab, yang saya pelajari dari kejadian tersebut. Utamanya adalah, self-image, atau pandangan diri mereka terhadap diri mereka sendiri. Mereka datang menemui saya, dengan membawa beban besar di kepala mereka. Mereka datang dengan status sebagai orang bersalah. Dan mereka tyakin, pertemuan dengan saya pun pasti berkenaan dengan hal tersebut. Terlebih, mereka datang bukan karena keinginan mereka sendiri.

Bandingkan dengan para siswa SMK dan pesantren yang biasa kami tangani. Mungkin mereka datang untuk konsultasi atau sharing masalah mereka. Tapi mereka yakin, bahwa pandangan sosial terhadap mereka , masihlah netral. Artinya, orang-orang tidak menganggap ada sesuatu yang aneh pada diri mereka. Mereka dipandang dengan kelebihan dan kekurangan mereka sebagai manusia biasa. Sehingga, keterbukaan diri, menjadi lebih signifikan dibandingkan dengan mereka yang membawa beban “tertuduh” atau “bersalah” dalam persepsi sosial terhadap diri mereka.

Hal ini yang perlu kita perhatikan. Bayangkan, bagaimana bila kita memandang peserta didik kita, sebagai seorang yang penuh dengan kesalahan, penuh pelanggaran, yang memberatkan mereka. Kita pun tahu, mereka pasti memiliki sisi positif. Tapi pelanggaran yang mereka lakukan, seakan menutup mata kita. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Bila ini kita lakukan terhadap mereka, maka keterbukaan pasti sulit ditemukan. Karena pandangan kita, secara langsung ataupun tidak langsung, mempengaruhi dan membentuk pandangan mereka terhadap diri mereka sendiri.

Dalam psikologi sosial, ada istilah yang disebut dengan self-fulfilling prophecies, yaitu ketika kata-kata yang kita keluarkan terhadap orang lain, dapat menjadi kenyataan pada perilaku mereka. Kejadian yang teradi hari ini, tentu ada kaitannya dengan self-fulfilling prophecies itu. Dengan kata-kata negatif yang kita berikan pada mereka, hal itu akan mempengaruhi persepsi mereka. Persepsi negatif terhadap diri sendiri, ditambah dengan hilangnya keterbukaan, secara berkelanjutan tentu dapat menjadi kebiasaan yang buruk, yang tidak kita harapkan. Maka sungguh benar, hadist Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang artinya, “sesungguhnya di dalam kata-kata itu, terdapat sihir”. Dan tidaklah Muhammad itu berkata dengan hawa nafsunya, melainkan itu adalah wahyu dariNya (lihat Q.S. An-Najm)

No bodies perfect. Itu yang perlu kita tanamkan secara mendalam. Tiada manusia yang luput dari kesalahan. Kesalahan itu lumrah dan manusiawi. Kesalahan sejati kita justru terletak pada cara kita menyikapi kesalahan tersebut. Ingat, orang-orang besar dan suksses pun berangkat dari kesalahan mereka. Mereka memetik hikmah, dan meingimplentasikan hikmah dari kesalahan tersebut dalam keseharian mereka. Bagaimana dengan kita?

Samarinda, 2011

Related Posts