10 Sept 2024

The Paradox of Choice (#3): Plenty Choice and Anxiety

Setelah memahami dua konsep #1 dan #2 yang saya tulis sebelumnya, ternyata "kesulitan dalam memilih" dan "anxiety" memang terhubung kait oleh sistem fisiologis otak kita yang kompleks ini.

Premis sederhananya kurang lebih seperti ini: Ketika banyak opsi, kita jadi bingung opsi mana yang paling worth. Kebingungan tersebut membuat sulit untuk mengambil keputusan (analysis paralysis), sehingga menghadirkan situasi yang tidak pasti (uncertainty). 

Uncertainty inilah yang membuat kecemasan dan tubuh merespon dengan "banjirnya" hormon noradrenaline. 

 --
Ada dua buku yang di antaranya dikutip dalam The Paradox of Choice. Judulnya "The American Paradox: Spiritual Hunger in The Age of Plenty" dan "The Loss of Happiness in the Market of Democracies". Dari judulnya kita sudah tahu apa message dari buku-buku tersebut. 

Buku pertama yang ditulis oleh ahli psikologi David Myers mendeskripsikan fakta statistik di US, bahwa sejak tahun 1960-an perceraian meningkat dua kali lipat; tingkat bunuh diri pada remaja meningkat tiga kali lipat; kriminalitas meningkat 4x lipat, dan seterusnya. Freedom of choices yang disangka meningkatkan taraf well-being, ternyata malah terjadi berkebalikannya. 

-- 

Fakta dalam sejarah perjalanan manusia, ternyata hal-hal yang membuat kita bahagia itu bukanlah hal yang membuat kita bebas. Tapi justru hal yang mengikat kita. Relationship yang membuat kita bahagia, karena ada batasan-batasan di dalamnya. 

Keluarga yang membuat kita bahagia, karena ada rules dan value di dalamnya. Ketika seseorang ingin berada dekat dengan keluarga, tentu dia akan mengeliminasi lokasi pekerjaan yang membuatnya jauh dari keluarga. Value yang kita pilih untuk membahagiakan kita, secara tidak sadar ternyata membuat kita mengerucutkan pilihan-pilihan dalam hidup. 

Happiness limits our own possibilities. 
But less is more.

27 Mar 2024

The Paradox of Choice (#2): Uncertainty and Anxiety


Pernah gak sih anda berada dalam situasi ini:

Anda sebagai leader di suatu team tersebut harus segera mengambil keputusan karena ada situasi tertentu. Tapi, atasan anda tidak memberikan wewenang dalam pengambilan keputusan. Anda menghubungi atasan, tapi still no response, padahal waktu terus berjalan semakin mendekati deadline.

Apa yang dirasakan? Cemas? Anxious? 

Well, itu wajar ya dan bukan lebay. 

Walaupun manifestasi kecemasannya bisa berbeda-beda, tapi uncertainty atau situasi yang tidak ada kepastian itu memang menimbulkan kecemasan.  Dan itu bukan berarti anda incompetent dan incapable.

---

"gitu aja kok cemas".

Masalahnya, bagian otak yang merespons keadaan "uncertainty" dalam pengambilan keputusan, merupakan bagian otak yang sama dengan sistem fight or flight, yang menurut evolutionary psychology, merupakan survival insting. Namanya ACC. Anterior Congenital Cortex.

Otak kita tidak bisa membedakan mana keadaan uncertainty yang mengancam nyawa atau tidak. Otak akan merespon dengan prosedur mekanisme yang sama ketika anda berusaha survive diserang hewan buas, atau ketika anda berada dalam suatu ketidakpastian. Ini nature dalam fisiologi otak kita. 

Study psikologi menunjukkan, bahwa orang-orang yang memiliki aktivitas ACC tinggi, akan menunjukkan gejala-gejala kecemasan.

---

Photo by Sasha Freemind on Unsplash

Inilah yang menjadi sebab manusia tidak suka ketidakpastian. 

Kita merasa tidak nyaman ketika pesawat kita delay, hingga mendapat kepastian kapan berangkat.

Kita merasa tidak nyaman ketika melamar kerja sudah sampai tahap interview, hingga mendapat kepastian diterima atau ditolak.

Dan mungkin itu juga yang membuat manusia cemas dengan kematian. Karena tidak ada kepastian kapan akan menjemput.

---

Berarti, kalau anda punya atasan yang ga bisa ambil keputusan, rasanya apakah seperti dibayang-bayangi kematian setiap saat ya? :D

25 Mar 2024

The Paradox of Choice (#1): Analysis Paralysis

Kita pasti berpikir, memiliki limitless option and choice itu menyenangkan, karena bisa memenuhi personal choice masing-masing. The more choice, the better. Gitu katanya.

Photo by Jon Tyson on Unsplash


Kita tahu manusia memiliki keinginan dan desire terhadap  pilihan yang tidak terbatas dan kita mungkin percaya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk me-manage opsi-opsi tersebut.

Well, Dr. Barry Schwarts dalam buku The Paradox of Choices menjelaskan bahwa pada titik tertentu, jumlah pililhan akan meningkatkan kebahagiaan. Tapi jika pilihan terlalu banyak, justru membuat happiness seseorang akan berkurang.

-

Tahun 2000, ada studi yang berjudul menarik: "When Choice is Demotivating: Can One Desire too Much of a Good Thing?

Dalam experiment tersebut, sebagian orang diberikan pilihan 24-36 jenis rasa selai yang berbeda-beda. Di saat yang lain, mereka diberikan pilihan 6 jenis rasa saja. 

Hasilnya? Opsi yang lebih sedikit memiliki tingkat penjualan 10 kali lebih banyak. Limited option changes consumer purchasing behavior.

Ketika terlalu banyak pilihan, maka otak kita jadi terlalu banyak pertimbangan, akhirnya malah ga bisa ambil keputusan (analysis paralysis). 

Dalam konteks purchasing behaviour ini, otak kita akhirnya mensimplifikasi dengan "duh bingung pilih yang mana, yaudah dari pada nanti nyesel salah pilih, ga jadi beli aja deh".

-

Sekarang saya jadi paham, kenapa dalam meeting yang bersifat strategic, pembahasan sudah mengerucut pada sedikit opsi pilihan apa yang akan diambil. Dan bahkan sudah tidak lagi membahas "how-to" nya.

dan dalam level personal, membatasi pilihan membuat psikologis kita lebih rileks dan terhindar dari anxiety.

So, let's start to made less option.



20 Oct 2023

The possibilities of automation are at your hand



Coba pikir deh, ada banyak rutinits dalam pekerjaan atau bahkan kehidupan yang bisa diback up oleh automasi.

Cukup dgn event sebagai trigger, dan selanjutnya step automation ambil alih.

Contoh simple yang saya terapkan di kehidupan,

Trigger: matikan alarm pagi.

Action: nyalakan lampu, buka gorden, matikan AC.

Trigger: "hi siri, good night"

Action: night lamp is on, alarm is set, door alarm is active, AC sleep mode. 

Kalau dalam pekerjaan, wah banyak sekali possibilities-nya karena kita seringkali terjebak dalam rutinitas administratif. 

Example,

Trigger: di database pelamar, saya jadwalkan interview dgn hanya menginput tanggal interview.

Automation: generate link interview, serta merging data lain dari database yang sudah ada, lalu mengirimkan email undangan ke kandidat. 

Atau contoh lain yang udah banyak banget pakai,

Trigger: peserta training isi post-test.

Automation: generate sertifikat of attendance nya dan kirim langsung ke email trainee.

Atau ada lagi yang lebih simple lagi,

Trigger: H-30 end of Contract karyawan

Automation: Generate kontrak yang baru, kirim email ke HR or atasan untuk review.

---

Mereka yang resistance to change bakal bilang "alah itu kan pekerjaan simple, ngetik itu paling 5 menit jadi"

Jawabannya, "justru karena simple kenapa ga diserahkan ke automasi aja? 5 menit kalau 30 processes per day, kita udah nyumbang 1/3 FTE workload"

---

Si resistance: "Tapi bikinnya kan butuh waktu?"

Me: "pay now play later, or play now pay later?"

---

Pointnya, saya cuma pengen build awareness ke orang-orang, kalau kita bisa kok bekerja dgn cara baru (yang gak baru-baru amat juga, FYI saya main beginian since 2017).

Premisnya sudah jelas: "segala sesuatu yang rutin dan berulang bisa di-automasi."

Come on, ini 2023 di luar sana udah bertaburan AI, Dan kita masih alergi dengan automasi?

Dan percaya deh, kita akan sulit berpikir yang besar, kalau kita masih terpenjara oleh hal-hal kecil.


13 Oct 2023

Time Flies: No Code Development Platform

Time Flies: No Code Development Platform

Pertengahan 2016, saya dan temen-temen lagi bantuin prodi psikologi untuk proses borang akreditasinya saat itu. Buat temen-temen yang pernah terlibat proses akreditasi, pasti tahu banyak banget dokumen yang harus disiapkan dalam rangka borang tersebut. 

Dan diantara dokumen yang dibutuhkan sebagai lampiran, banyak sekali dokumen yang kita lihat punya pola, dan hanya berbeda di detail isiannya saja. Let's say seperti surat keterangan aktif kuliah, itu kan isinya sama saja, tinggal ganti detail profil mahasiswanya saja. 

Jawabannya udah pasti: merging files. 

Tapi ternyata kebutuhan kita lebih dari itu, karena source data harus crowd source, inputan data harus secara online.

--- disinilah cerita bermula ---

Pertengahan tahun 2016, saya dan temen-temen lagi bantuin prodi psikologi untuk proses akreditasinya. Buat temen-temen yang pernah terlibat proses borang akreditasi, pasti tahu banyak banget dokumen yang harus disiapkan untuk proses tersebut. 

Untuk menyiasati itu, saya buat google script supaya dokumen sheet dan doc bisa merging secara online. Sangat useful (di zamannya) walaupun ngebuatnya lumayan rumit buat saya yang ga punya basic coding (see picture 1). Dibantuin @Wahyu Prayogo dan @Maulid Sidiq untuk check error di codenya. 

Dan hanya dalam 2 tahun kemudian, di 2018, script tersebut tidak lagi saya gunakan karena ada metode baru yang lebih mudah dan lebih reliable: pakai add-on. Kalau yang ini korban trialnya adalah @Dwi Putra.

Ternyata, ga berhenti disitu. Start tahun 2020an, adaptasi lagi dengan perkembangan baru, add-on tersebut mulai tergeser dengan adanya low code development platform (LCDP). Kata McKinsey Global Survey sih memang pandemi saat itu bikin digitalisasi berkembang 2-3 tahun lebih cepat. Saya mulai pakai Power Apps-nya Microsoft.  

Long story short, lihat timelinenya untuk insight dari cerita ini. 4 tahun aja. 

Anggap kalau seandainya gw mahasiswa, dan ketika di semester 1 belajar google script, berarti pas lulus (kalau lulusnya 4 tahun ye…) apa yang dipelajari di semester 1 itu udah obsolete dan ga mulai gak laku. 

Tapi inget ya, gw ini cuma basic user. It doesn’t mean apa yang gw sebutin itu sekarang sama sekali useless. Mungkin aja masih berguna untuk orang-orang yang yang berada di bidang spesifik lainnya. Hanya saja, buat gw yang mengutilisasi tools tersebut dalam daily basis pekerjaan as HR, shifting-nya digitalisasi ini berasa cepat banget. 

Oh ya, ini udah 2023.

Dan untuk kebutuhan saya yang sama, LCDP udah mulai terganti dengan NCDP (no code development platform). Well, harus adaptasi lagi. 


5 Nov 2021

Cara Dia Berterima Kasih

Cara Dia Berterima Kasih
Saat itu sore hari di Sukabumi. Saya sedang belajar di ruangan saya, mengejar ketertinggalan saya dalam mata kuliah Bahasa Arab. Latar belakang saya yang lulusan SMU Umum, ternyata menjadi tantangan besar untuk menempuh pendidikan Studi Bahasa Arab saat itu. Berbeda dengan teman-teman lainnya yang rata-rata jebolan aliyah atau bahkan pesantren.

Saat sedang asik mengulang pelajaran, tiba-tiba terdengar ketukan pintu, disusul suara yang memanggil dalam bahasa arab namun bernuansa logat medok jawa, yang artinya "lagi sibuk? Saya perlu P3K"

Saat itu saya memang mengemban amanah lain disamping sebagai pelajar. Mereka para petinggi sekolah tinggi tersebut, menganggap background saya sebelumnya yang pernah belajar kesehatan bisa dimanfaatkan dengan menjadi penanggung jawab Bagian Kesehatan.

Saya lalu membuka pintu. Terlihat teman yang berasal dari Tegal (ga heran bahasa arabnya berlogat medhok, hehe) tersenyum tapi sambil merintih. Dia menunjukkan jempol kakinya yang terluka akibat main bola lapangan.

Saya mencoba membersihkan lukanya, lalu melakukan tindakan yang diperlukan, dan diakhiri dengan memberikan perban pada kakinya tersebut.

Singkat cerita, beberapa pekan kemudian setelah beberapa kali ganti perban, kakinya sudah mulai sembuh, dan tibalah pada penggantian perban yang terakhir. Artinya, tidak perlu ada "kontrol" lagi.

Setelah prosesi selesai, dia pun mengucap terima kasih dengan senyum lega terukir di wajahnya, lalu keluar dari ruangan P3K itu.

Namun tak lama, tiba-tiba dia kembali lagi. Dia membawa sarung yang membulat karena ditengahnya ada terbungkus sesuatu. Kemudian, dia letakkan sarung itu di atas meja saya, lalu dengan hati-hati membukanya.

"Ini ada sesuatu dari saya, mohon maaf ga seberapa...", ucapnya sambil mengeluarkan beberapa makanan ringan yang diborongnya dari kantin kampus. Jumlahnya tidak banyak memang, tapi sangat bervariasi.

Saat itu hati saya tersentak. Saya tahu dia bukan berasal dari keluarga menengah keatas. Penampilannya sangat sederhana. Hingga bahkan kita bisa hapal baju yang dipakainya, karena sepertinya dia cuma punya 3-4 lembar baju yang dipakainya sehari-hari, namun selalu tetap tampil bersih dan rapi. Bahkan sarung yang digunakan untuk membawa cemilan itu pun, sudah terlihat lusuh dan tua.

Dia bukan orang yang kelebihan uang, tapi dia mau berkorban untuk sekedar berterima kasih.

Saya banyak belajar dari kejadian tersebut. Bahwa berterima kasih tidak perlu dalam wujud yang mahal dan ribet. Dia sangat paham kebiasaan saya yang hobby ngemil. Dan disitulah cara dia berterima kasih.

Sebenarnya, senyuman lega yang menghias wajahnya, sudahlah cukup membuat saya bahagia karena menolongnya. Tapi, dibalik kesederhanaan dan keterbatasannya secara finansial, dia tetap punya cara untuk berterima kasih.