Sejarah mencatat, tahun 1955 adalah tahun besar bagi Indonesia.
Pada tahun tersebut pemilu pertama kalinya diadakan. Tahun itu, juga tahun
besar bagi PKI. Dia mendapat posisi nomor 4, dengan perolehan 16 persen lebih
suara. Suara cukup signifikan, mengingat itu adalah kali pertama pemilu.
Lalu, kita-kita yang diajarkan anti-komunis sejak dini,
tentu akan bertanya “kenapa rakyat memilih komunis?”. Kita tidak bisa menjawabnya dari sudut pandang pribadi. Kita harus menenggelamkan diri kita dalam situasi
revolusi saat itu.
***
Sepuluh tahun pasca proklamasi ternyata bukan hari-hari yang
mudah. Sebutlah agresi militer oleh
Belanda, serta pemberontakan yang merajalela (yang bahkan dilakukan juga oleh PKI tahun 1948). Perang
dingin juga "memanas". Amerika dan Soviet sedang getol menanamkan kukunya di
peta politik Indonesia. Berimbas terhadap kondisi ekonomi Indonesia saat itu.
Penduduk Indonesia yang saat itu sedang dilanda krisis, kemudian dihadapkan
dengan dua role model negara, satu berpaham liberal ala pasar bebas, dan satu
paham komunis. Masyarakat yang sedang dalam kesulitan finansial, kesulitan mendapatkan
kesempatan pekerjaan, tentu akan lebih tertarik dengan paham komunis. Sebab,
dalam konsep negara komunis, kekayaan negara dikelola terpusat untuk
kesejahteraan merata rakyatnya. Komunisme tidak mengenal kaya dan miskin, karena mengagungkan pemerataan sosial. (intermezzo: masih ingat sila kelima?)
Kemudian, jangan lupakan bahwa Indonesia ini negara agraris. Mata pencaharian utamanya adalah petani. Sedangkan komunisme sangat menjunjung tinggi
kaum proletar, yaitu buruh dan tani. Lihat saja lambangnya, berupa palu dan
arit. Tidak heran, dukungan terhadap komunis pun mengalir deras dari kaum
petani.
Bahkan PKI pernah menuntut agar buruh dan tani dipersenjatai.
Ingat, memiliki senjata pada masa-masa revolusi berbeda dengan masa sekarang. Memiliki
senjata seolah memberikan angin segar bagi mereka yang memiliki semangat revolusi.
Secara politis pun, PKI yang anti-kolonialisasi dan
anti-Barat, mampu merebut hati rakyat dengan isu nasionalisasi, di antaranya
dengan menentang pendudukan Irian Barat oleh Belanda.
Dan ingat juga. Masyarakat Indonesia belum banyak yang mengenyam pendidikan tinggi saat itu. Apalagi dari golongan petani dan rakyat bawah. Sehingga masih belum banyak yang memahami secara
komprehensif bahwa komunisme adalah pemahaman yang anti-Tuhan. Komunisme hanya
dilihat sebagai movement perjuangan, bukan sebuah ideologi yang mendasar.
***
So, jika kita meleburkan diri dalam kondisi sosial saat revolusi itu, kita
setidaknya bisa memahami, kenapa PKI bisa menjadi partai hebat di masa itu. Terlepas dari kenyataan bahwa komunisme bertentangan dengan keyakinan akan ketuhanan
yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Sebab Karl-Marx sudah jelas
menyatakan “agama adalah immoral”. Komunis
dan agama rasanya memang sulit menyatu. Bahkan Muhammad Hatta pernah berkata “Amir
Sjarifuddin terlalu beragama untuk menjadi seorang komunis).
Saya meyakini, bahwa tulisan ini tentunya sangat sensitif
bagi sebagian orang. Saya pribadi cenderung untuk sulit sepakat dengan isme-isme
yang ada. Saya pun bukan pakar di bidang sejarah. Namun, terlepas dari kondisi-kondisi
tersebut, yang saya coba lakukan adalah pendekatan historis, atau bahkan psiko-historis
(meminjam istilah Erikson dalam Young Man Luther). Maka, mari kita coba mencermatinya
dengan tidak normatif.
incefurqan