4 Jul 2015

Menebar Virus Kompetensi


Pekan lalu, saya berdiskusi dengan teman-teman dari komunitas pluralis. Di tengah diskusi, salah seorang sarjana fresh-graduate di komunitas tersebut bercerita tentang pengalamannya pernah dianalisis tulisan tangannya oleh salah seorang kolega saya.

Cerita tersebut mengingatkan saya, sekitar akhir tahun 2014 lalu, saya pernah mengobrol dengan seorang teman mahasiswi di angkatan bawah saya yang berasal dari daerah paling utara Kaltim. Dia bercerita tentang awal ketertarikannya di psikologi, karena salah satu seniornya di high school pernah membaca karakternya melalui psikogeometri. Seniornya tersebut ternyata juga adalah salah satu mahasiswa psikologi, yang saat itu sedang pulang kampung.

Mendengar dan mengenang kisah-kisah tersebut, mengukirkan senyum bahagia. Sebab, saya ingat sekali, bahwa ketika saya datang belajar ke psikologi Universitas Mulawarman pada tahun 2009, grafologi dan dasar grafis tidak begitu popular di kalangan teman-teman mahasiswa psikologi. Sedangkan saya sendiri sudah sejak SMA tertarik dengan grafologi. Dan ketertarikan tersebut mengikuti saya hingga sampai ke Samarinda ini.

Hal tersebut menantang saya untuk sering melakukan diskusi tentang grafologi, disertai dengan tips dan trik untuk melakukannya, serta melakukan pelatihan yang sifatnya private ke teman-teman terdekat. Hingga akhirnya, bekerja sama dengan salah satu biro psikologi external (swasta), kita sempat mengundang salah seorang praktisi psikologi dari Surabaya, untuk mengadakan pelatihan grafologi, dengan materi yang lebih terstruktur dan sistematis.

Berbekal ilmu dan kurikulum dari pelatihan tersebut, skill grafologi mulai meluas di teman-teman mahasiswa psikologi. Euphoria skill praktis ini, bahkan tercermin ketika saya mengadakan pelatihan AMT untuk angkatan 2010, salah seorang diantara mereka menuliskan cita-citanya "ingin menjadi grafolog skala Kaltim".

Euphoria tersebut juga membuat kita semakin rutin melakukan pelatihan grafologi untuk kalangan sendiri, diskusi ilmiah, dan bahkan juga pernah kita mendapat official invitation dari BEM fakultas kedokteran untuk mengisi materi grafologi (tahun 2011).
Pengetahuan dan skill grafologi akhirnya viral, menyebar dengan cepat dan progresif di kalangan mahasiswa psikologi.

Saya tersenyum, saat saya membandingkan kondisi pada tahun 2009 ketika grafologi masih berupa sebuah wacana dan tulisan di atas buku-buku tua yang saya bawa dari Jakarta; dengan kondisi fenomena tahun 2012 keatas, ketika grafologi menjadi salah satu andalan dalam setiap performance atau expo psikologi, bahkan untuk kegiatan funding. Grafologi can earn some money for us. Alhamdulillah.

Saya berbahagia, ketika saya berhalangan untuk hadir sebagai 'dukun tulisan' dalam expo psikologi yang diadakan Himapsi, tapi ternyata ada banyak kader-kader yang siap menggantikan saya (saya membandingkan dengan skill lain yang hanya terpaku pada satu atau dua person, tidak dikader. Sehingga ketika person tersebut tidak bisa hadir, maka 'layanan' tersebut tidak bisa dilaksanakan).
Saya juga sangat bahagia ketika suara saya habis total saat mengisi sebuah pelatihan grafologi, ternyata ada tandem yang bisa menggantikan saya sebagai trainer.

Setiap keringat yang menetes ketika berdiskusi, setiap suara sisa yang serak ketika training, setiap rupiah yang keluar ketika membeli referensi baru, setiap detik yang berlalu untuk eksplorasi, semua itu ternyata tidak sia-sia. Itu semua berproses menjadi lembaran babak baru: sebuah standar kompetensi.

Ya, virus kompetensi grafologi tersebut, akhirnya berhasil menjangkiti sebagian besar teman-teman psikologi. Grafologi dan pemahaman basic grafis akhirnya menjadi sebuah standar kompetensi "tidak resmi" di kalangan mahasiswa psikologi. Bahkan, sekarang semester 1 sudah dibekali dengan kemampuan tersebut.

***

Saya merefleksikan waktu selama 3 tahun yang diperlukan hingga akhirnya grafologi bisa menyandang predikat tersebut. Saya kemudian berpikir, "jika dulu grafologi yang bermula dari satu orang, bisa menjadi seperti sekarang ini; bagaimana jika kita bisa menggencarkan suatu kompetensi tertentu secara massif, progresif, dan sistematis?" tentunya akan memerlukan waktu lebih singkat sehingga itu bisa menjadi "standar kompetensi tidak resmi" yang baru.

Saya sangat berharap, dengan banyaknya kuantitas SDM saat ini dibandingkan dulu, idealnya kita mampu menumbuhkan banyak standar-standar baru dalam kompetensi non-formal mahasiswa. Rasa kepedulian, asas kemanusiaan, dan spirit untuk maju bersama, adalah kunci agar kita bisa konsisten dalam menerapkan development tersebut. Dan pilihan ada di tangan kita, apakah kita ingin mencetak sejarah, atau hanya menjadi bagian kecil dalam sebuah sejarah?

So, jika anda peduli dengan nasib keilmuan sesama teman-teman psikologi, maka ini adalah tugas dan tantangan anda. Segeralah menebar virus kompetensi…


Salam,

Ince Ahd Furqan

Semoga Tuhan meneguhkan hati kita ikhlas dalam kebenaran dan keilmuan. Amin… 

incefurqan.net | from BlackBerry®
Previous Post
Next Post